Pangkalpinang sergapnews.id — Ledekan anak jaman sekarang tersebut saat ini benar- benar dirasakan hampir seluruh warga Ibukota Penghasil Timah. Penyebabnya apalagi kalau bukan soal kelangkaan bahan bakar, baik jenis premium ataupun pertalite, Sabtu 11/12/2021.
Pantauan media ini sejak kemarin sore, antrian kendaran roda empat dan roda dua yang mengular mengantri isi bahan bakar sering dijumpai di pelosok Kota Beribu Senyuman.
Berdasarkan Rincian Kuota Volume Jenis Bahan Bakar Premium per Provinsi/Kabupaten/Kota oleh PT Pertamina (Persero) Tahun 2021, dikatakan untuk Provinsi Bangka Belitung khususnya Kota Pangkalpinang mendapat kuota sebanyak 12.772 Kilo liter, dengan realisasi sampai September 2021 kemarin sebesar 3.656 Kilo liter.
Apalagi jika dikalkulasikan secara hitungan awam, akan keluar kuota yang dinilai masih cukup: 1 998 442 350 Kilo liter untuk jatah Provinsi Bangka Belitung selama tahun 2021. Sementara angka konsumsi sampai bulan September 2021 mencapai 89 557 Kilo liter
Menariknya, angka konsumsi terkecil bbm justru ada di Kabupaten Belitung, yang cuma menghabiskan kuota sebesar 5806 Kilo liter per September 2021, apakah ada kaitannya dengan KEK dan Kawasan Zero Tambang? Bisa saja terjadi.
Jadi analisanya yang tepat bukan langka, tapi tata kelola yang saat ini disinyalir “lebih deras” mengalir ke pihak yang tidak semestinya. Bukankah geliat tambang rakyat sedang berkobar-kobar dibumbui harga pasir timah yang sedang tinggi di pasar dunia?
Pada tahun 2010 yang lalu, pihak BPH Migas telah meluncurkan program pengaturan bahan bakar subsidi jenis darat, dengan kartu bersubsidi. Atau smart card.
Teknisnya, setiap warga kota Pangkalpinang yang terdata memiliki kendaraan baik roda dua ataupun roda empat, akan dibagikan kartu subsidi dengan logo BPH Migas, untuk mengisi bahan bakar di setiap SPBU.
Walau awalnya mampu merapikan jumlah kuota BBM Provinsi Bangka Belitung yang dulu sempat membengkak dari kuota yang ditetapkan pemerintah, faktanya saat ini dinilai belum mampu untuk menghadapi bertemunya dua kepentingan sekaligus.
Yakni membaiknya harga jual pasir timah dunia dengan efek makin tersedotnya konsumsi bahan bakar untuk menghidupi mesin-mesin penambang di puluhan lokasi penambangan, bahkan di pinggiran kota Pangkalpinang saja. Bagaimana angkanya jika dikalkulasikan secara total lokasi penambangan baik yang legal ataupun illegal.
Sejatinya, para pemangku kebijakan harus lebih jeli dan bijaksana menyikapi konstelasi yang ada. Bukankah SDA Timah harus diakui sebagai penopang utama angka pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung? Sehingga disaat yang lainnya kolaps oleh hantaman pandemi, justru Bangka Belitung mampu masuk lima besar pertumbuhan ekonomi nasional, serta mengukuhkan diri sebagai ekonomi terbaik di regional Sumatra.
Hanya saja, regulasi pemprov Babel yang dinantikan para pelaku industri timah dari hulu dan hilir sampai sekarang tak kunjung juga disahkan. Kita wajar berandai-andai, jika saja pihak regulator mampu membuat selisih harga jual timah yang berlaku di London Metal Exchange dengan harga jual di kalangan penambang maksimal di kisaran 100 ribu rupiah saja. Serta mampu bernegosiasi B to B dengan para raksasa teknologi seperti Apple Inc, Samsung, Siemens, Blaupunkt, Microsoft, Huawei dan sebagainya Dapat dibayangkan betapa tingginya angka pertumbuhan ekonomi provinsi kepulauan ini.
Tentunya hal demikian dapat terjadi manakala ada payung hukum yang melindungi gerak para pelakon usaha timah, penambangnya tidak takut lagi karena memang disediakan daerah yang gemuk deposit timahnya secara legal, para pebisnis di sekitarnya seperti bahan bakar, distribusi, smelter (peleburan pasir timah ke timah batangan), jasa, makanan dan minuman tidak lagi seperti saat ini yang malu-malu kucing karena terbentur kakunya beleid dari pusat.
Kepentingan yang kedua adalah pesatnya laju penambahan penduduk Pangkalpinang yang berimbas makin padatnya kota Beribu Senyuman. Yang mungkin kurang disadari oleh pembaca sekalian, dulu kita jarang terkena macet antrian kendaraan tapi sekarang makin sering bukan? Artinya konsumsi bahan bakar tentu akan meningkat seirama dengan berubahnya predikat kota transit menjadi kota tempat menetap para pendatang asal luar Bangka Belitung.
Jadi menurut hemat saya, sebagai orang yang pernah terlibat langsung dalam program mengatur tata kelola bahan bakar di provinsi kepulauan ini yang cukup rumit, sebagai saran tentu ideal sekali jika para pihak penyedia jasa seperti PT PERTAMINA Tbk, Stakeholder setempat, serta unsur aparat keamanan bisa duduk bersama mencari solusi komprehensif serta memiliki efek jangka panjang.
Misalnya, PT PERTAMINA Tbk mengusukan pada Hiswana BPH MIGAS untuk segera menambah jumlah SPBU di Pulau Bangka dan Belitung. Kenapa harus menambah? Salah satu sebabnya adalah, untuk memutus mata rantai mengerit tadi. Yang artinya, jika memang BBM tadi “disalurkan” ke tambang rakyat, ya main jelas-jelasan saja, jangan malah akan merugikan warga keseluruhan.
Regulasi yang nanti akan dirumuskan ini semata-mata bukan untuk memutus mata pencaharian kebanyakan warga di dua pulau ini. Tapi lebih kepada membenahi kesemrawutan pasokan bbm yang jika tidak diatur secara benar, tentu kedepannya akan lebih berantakan lagi.
Yang ditangkap itu yang memperkaya diri dengan menimbun bbm disaat warga lain kesulitan untuk sekedar mengisi bensin motornya. Yang harus diatur itu mindset para petugas SPBU, agar tidak mendukung praktek mengambil keuntungan disaat orang susah. Jadi, jika BBM memang digunakan dengan semestinya untuk produktifitas, mobilitas warga, ya mitigasi insiden kelangkaan seperti sekarang seharusnya jauh-jauh hari sudah diprediksi oleh penyedia jasa, dalam hal ini PT PERTAMINA Tbk.
Memang untuk menjadi mahir dibutuhkan sepuluh bahkan mungkin seratus kali failed atau kegagalan. Tapi setidaknya untuk terus melangkah maju kedepan dibutuhkan kemauan yang kuat untuk bisa memecahkan problem. Dan sekarang ini jelas problem, wong mengatur jatah bahan bakar untuk ± 350 ribu-an kendaraan bermotor saja mosok tidak bisa? Bisalah, cuma rumusnya mungkin yang kemarin itu keliru. Dan perlu diingat, puncak kurva konsumsi bahan bakar belum menyentuh puncaknya. Yang diestimasi jatuh mulai saat libur Nataru dua minggu kedepan. (*)
LH
Wartawan (eks staff humas BPH MIGAS Babel 2009-2011)