Pangkalpinang Sergapnews.id — Sekelompok penambang bermodalkan ponton rajuk tampak sedang mendorong alatnya menepi ke pinggir perairan Teluk Kelabat, mereka menghindari isu razia yang belakangan santer terdengar akan menyergap periuk nasi mereka, Sabtu 7/08/2021.
“Kita nih khawatir dengan ramainya pemberitaan di media kemarin-kemarin. Kita sekarang takut lah ke laut, takut ditangkap,” ungkap warga penambang asal Belinyu yang wanti-wanti namanya jangan dimasukan dalam media.
Informasi terakhir, semalam tadi ada giat operasi penangkapan terhadap dua penambang TI Rajuk di kawasan Batu Dinding Belinyu, Sabtu dinihari tadi.
Kapolres Bangka, AKBP Widi Haryawan melalui Kapolsek Belinyu dilansir swakarya, Kompol Noval mengaku penertiban tersebut dilakukan lantaran para penambang diduga tidak memiliki izin untuk melakukan aktifitas penambangan di perairan laut Batu Dinding Belinyu.
Berkaitan dengan isu regional yang marak menghiasi pemberitaan di Babel tadi, akhirnya muncul sebuah alternatif pendapat yang bisa dibilang rasional dari seorang Perwira di Lanal Babel, Palaksa Lanal Babel, Letkol Laut (PM) Fajar Hasta Kusuma.
Saat bertutur ke redaksi, Palaksa menyebutkan, dalam rapat koordinasi yanh diikuti kemarin, Ia sebenarnya cuma membuka fakta saja bahwa seluruh peserta rapat yang hadir tidak bisa mengenyampingkan fakta soal sejarah pertimahan di Bumi Serumpun Sebalai.
“Provinsi ini dapat berkembang dan maju salah satunya karena daerahnya merupakan penghasil timah, dan bisa disebut sudah jadi tradisi sebagian besar masyarakat Babel untuk menambang timah secara turun-temurun,” ujar dia.
Obrolan berlanjut membahas Perda Zonasi atau RZWP3K, Fajar menilai bahwa sebuah Izin Produksi atau IUP munculnya tentu lebih dulu dibandingkan dengan Perda, dan IUP miliki kekuatan hukum lebih kuat karena sama-sama diketahui diatur oleh Pemerintah Pusat atau Kementerian ESDM.
“Harusnya aturan yang dibuat oleh Pemda Provinsi dan Bupati lebih menitikberatkan hajat hidup kelompok warga yang lebih banyak jumlahnya, dan mana yang lebih bermanfaat untuk pembangunan,” urai dia
Meski diakuinya saat ini kadang terjadi gesekan kecil antara warga penambang dan nelayan, namun jika melihat data sejarah pertimahan, seharusnya banyak pihak tidak serta merta menuding pertambangan dengan menggunakan Ponton Isap Produksi (PIP) sebagai pesakitan tunggal yang menghancurkan ekosistem perairan.
“Kenapa yang selalu diangkat adalah isu nelayan versus penambang? Ada catatan yang perlu diperhatikan. Soal lingkungan yang dirusak, mana datanya? Berapa kerusakan yang ditimbulkan selama ini, dan saya juga bertanya kok itu karamba-karamba ikan yang berdampingan dengan ponton penambang dapat hidup? Kan teluk kelabat ini sudah seperti halaman rumah saya sendiri,” terangnya.
Perwira Melati Dua ini juga tak menampik, tentang kondisi penambangan timah di perairan Bangka, pihaknya tetap pada koridor mengedepankan hal yang berimbang antara warga nelayan dan warga penambang. “Hal ini guna kepentingan untuk menghindari konflik,” imbuh Palaksa Lanal Babel
Palaksa sebut, justru Bencana ekologi yang diciptakan oleh KIP (Kapal Isap Produksi — red) sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan PIP yang hanya beberapa meter kedalaman menambangnya.
“Saya cuma berharap agar pihak Pemerintah Provinsi Bangka Belitung harus bersikap lebih bijak lagi, dengan mengakomodir hajat hidup kedua kelompok masyarakat yang ada dalam naungannya,” tutupnya. (red5)